Senin, 24 September 2018

Cerpen ( Cerita Pendek )


Miliknya Tak Sama dengan Milikmu
oleh : Tamao

https://www.plukme.com/post/1536044189-aku-bersyukur



“Ra bangun, mau kuliah ngak pagi ini ?” Terdengar suara Ibuku dari balik pintu kamar.
“Iya, Ma. Lima menit lagi masih pagi ini, Ma.” Aku masih memejamkan mata dan memeluk boneka beruang kesayanganku.
“Buruan bangun sarapan sudah siap di meja.” Ibuku masih terus berteriak dengan nada suara yang lebih tinggi.
Dengan sekuat tenaga Aku melawan gaya gravitasi bumi yang sangat berat pada pagi hari karena banyak pendapat mengatakan bahwa gravitasi bumi pada pagi hari sangatlah berat sehingga kita sulit untuk bangun dan berdiri dari tempat tidur kita. Aku duduk di ujung tempat tidurku sambil meminum air putih yang ada di sebelahku. Jam masih menunjukkan pukul 06.30 WIB masih terlalu pagi untukku tetapi suara berisik kendaraan sudah mulai terdengar. Aku mengambil handuk biruku dan menuju kamar mandi, di kamar mandi terlihat sebuah ember hitam yang berisi air hangat. Sudah menjadi kebiasaan Ibuku selalu menyiapkan air hangat untuk mandi pagiku jika Ibuku tidak menyiapkan air hangat maka Aku lebih memilih berangkat ke kampus tanpa mandi. Dalam benakku berpikir Aku tidak perlu mandi yang Aku butuhkan hanya bagaimana caranya agar Aku tetap wangi dan cantik di depan teman-temanku sehingga mereka tidak menyadari bahwa Aku tidak mandi pagi ini.
Kini Aku sudah duduk di meja makan berkumpul bersama keluarga untuk menikmati sarapan pagi ini. Nasi goreng dengan telur mata sapi dan sedikit sambal tempe sisa semalam. Aku menyingkirkan sambal tempe tersebut ke tepi piring karena Aku tidak mau memakan makanan sisa kemarin, karena menurutku makanan kemarin itu sudah basi dan harus dibuang atau diberikan kepada kucing yang mau menerima makanan apapun. Aku menyudahi sarapanku dengan menyisakan setengahnya karena Aku sudah merasakan kekenyangan jika dipaksakan Aku akan muntah.
“Kenapa makannya gak dihabisin, Ra?”
“Sudah kenyang, Ma. Gak kuat lagi kasih kucing aja.” Sambil berdiri dari meja makan.
“Kamu itu jangan suka buang-buang makanan mubazir.”
            Aku hanya diam tidak ingin ada perdebatan pagi ini hanya karena sepiring nasi dan merusak moodku hari ini. Aku berdiri dan mencium tangan kedua orang tuaku.
            “Assalamualaikum. Rara berangkat.” Sambil mengambil kunci motor yang tergeletak di atas meja di ruang tamu.
            Aku menghidupkan mesin motorku dan berjalan menuju jalan raya. Jarak menuju universitas cukup jauh membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit untuk tiba di kampus itupun jika tidak macet jika sedang terjadi macet parah bisa menghabiskan waktu hingga tiga puluh menit selain itu Aku membutuhkan kendaraan pribadi untuk menuju ke kampus karena akses jalan yang tidak terlalu bagus sehingga sangat jarang ada kendaraan umum yang bisa menuju kampus. Perjalananku baru dimulai sekitar sepuluh menit yang lalu tetapi perjalananku harus terhenti karena di depan terlihat keadaan macet yang sangat parah. Setelah melalui jalanan yang macet tibalah Aku di daerah kampusku. Kampusku terletak di daerah pinggir kota bisa dibilang daerah perbatasan sehingga banyak mobil-mobil truk besar berlalu-lalang. Banyaknya mobil yang berlalu-lalang membuat udara di daerah kampusku sangat tidak sehat. Polusi bertebaran dan sesekali Aku terbatuk karena Aku harus menghirup asap kotor kendaraan tersebut. Kadang Aku menyesal telah mengikuti keinginan orang tuaku untuk berkuliah di kotaku saja tidak perlu kuliah di luar kota bahkan di luar negeri karena menurut orang tuaku yang menentukan kesuksesan seseorang bukan universitasnya dan di mana Aku berkuliah tetapi diriku sendiri yang menentukan kesuksesan tersebut.
Jam telah menunjukkan pukul 07.55 WIB kelas sudah ramai hanya tinggal menunggu dosen mata kuliah pertama memasuki kelas, Aku masih sibuk memainkan ponselku sambil membalas satu persatu pesan yang Aku terima. Tidak lama setelah itu dosen mata kuliah pertamapun telah hadir di hadapanku. Kali ini Bu Olla memberikan tugas akhir semester dengan cara melakukan pengabdian dan kami dibebaskan untuk memilih tempat dan tema yang akan kami lakukan. Setelah melalui perundingan panjang kami memutuskan untuk melakukan pengabdian di salah satu daerah yang merupakan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ada di kota Palembang dan yang menjadi target pengabdian kami adalah anak-anak kecil yang ada di TPA tersebut. Untuk melakukan proyek ini Aku dan teman-temanku mengumpulkan dana yang nantinya diberikan kepada anak-anak tersebut baik dalam berupa uang maupun alat tulis. Berbagai cara kami lakukan agar uang itu dapat terkumpul dimulai dengan berjualan keliling disekitar lingkungan kampus, mencari sponsor, dan masih banyak lagi. Hal itu kami lakukan secara terus-menerus selama satu minggu penuh. Usaha tidak akan pernah menghianati hasil terbukti berkat usaha dan kerja keras kami berhasil mengumpulkan uang sekita tiga juta rupiah. Uang itu kami belanjakan untuk membeli alat-alat sekolah dan makanan ringan bagi anak-anak di TPA yang akan kami temui pada hari sabtu.
Dan hari sabtu pun tiba,  seluruh anggota kelas HI’C telah berkumpul di depan lambang tulisan UNSRI untuk menunggu bus yang akan mengantarkan kami semua menuju TPA, bus yang memang telah disewa untuk mengantar kami pada kegiatan ini. Tidak berapa lama kemudian bus pun datang untuk mengangkut kami semua menuju TPA. Menurut perkiraan teman-temanku yang telah melakukan survei lapangan perjalanan akan memakan waktu sekitar dua jam tapi dua jam bukanlah waktu yang lama. Di bus Aku bersama teman-temanku bernyanyi bersama seolah kita hendak melakukan piknik bersama sambil diiringi gitar. Menyanyi, bercanda, dan tertawa bersama, dan tidak lupa membahas masalah politik karena politik sudah menjadi bagian dari kehidupan perkuliahanku setiap harinya. Sepanjang perjalanan pun dihiasi oleh infrastruktur kota Palembang yang rapi dan bersih, sungai musi terlihat begitu tenang dengan perahu-perahu kecil di atasnya.
Dua jam tidaklah terasa, perlahan kami mulai memasuki daerah tempat TPA tersebut berada, bukan lagi pemandangan infrastruktur yang terlihat bukan lagi sungai musi yang tenang yang Aku lihat tetapi sebuah lingkungan kumuh yang menurutku sangat tidak sehat ditambah lagi langit yang mulai mendung seolah menambah kesan yang buruk dari tempat itu. Perlahan kami mulai memasuki lokasi tujuan kami, bus telah berhenti di depan sebuah lorong kecil karena lorong itu terlalu kecil sehingga Aku dan teman-temanku harus berjalan untuk sampai ke tempat yang dituju.
Mata ini tidak dapat memalingkan dari pemandangan sekitar, ini adalah pertama kalinya Aku melihat gunungan-gunungan sampah yang tinggi. Bahkan rumah pendudukpun dikelilingin oleh tumpukkan sampah. Dalam hatiku terbesit dan otakku berpikir bagaimana bisa penduduk di sini bertahan hidup bersama tumpuk-tumpukkan sampah setiap harinya mencium baunya saja sudah membuat Aku ingin muntah. Dari kejauhan Aku melihat seorang pria yang masih muda mungkin hanya setahun atau dua tahun lebih tua dariku sedang menggiring sapi-sapinya. Pria itu tidak mengenakan baju hanya sebuah celana putih yang sudah lusuh. Terlihat jelas sekali tulang-tulang rusuk dari balik kulit hitamnya dan sapi-sapinya pun tidak jauh beda kondisinya dengan sang pemilik. Ironis, sapi-sapi itu memakan rumput yang telah terkontaminasi dengan limbah plastik dan bayangkan jika sapi itu disembelih dan dimakan oleh manusia secara otomatis sampah itu ikut termakan oleh manusia.
Tibalah kami pada sebuah rumah kecil dengan halaman yang luas, di sana terdapat banyak sekali anak kecil sedang bermain bersama teman-temannya sepertinya mereka sudah tahu akan kedatangan kami dan menunggu kami tiba. Anak-anak itu terlihat sangat kotor dan lusuh tetapi mereka tetap bermain tanpa memperdulikan kondisinya. Beberapa dari anak-anak itu langsung menyambut rombonganku bahkan Marcel salah satu temanku dijadikan seperti sebuah pohon dipanjat oleh anak-anak itu baik dari belakang maupun depan. Semua anak-anak dikumpulkan di teras rumah kecil tersebut. Di sini terlihat sosok keasihan dari teman-temanku yang selama ini Aku anggap gila. Mereka mengajari anak-anak itu menulis, membaca, dan menghitung.  Kami bernyanyi dan bermain bersama.
Satu pemandangan lagi yang membuat Aku merasa berdosa karena, Aku melihat seorang anak tidak sengaja menjatuhkan gorengannya ke tanah. Namun, tanpa rasa jijik sang anak mengambil kembali gorengan tersebut dan memakannya. Ini sebuah tamparan keras bagiku karena dari sini Aku seharusnya bersyukur berterima kasih atas segala nikmat dan rezeki yang Aku miliki makanan yang sehat, lingkungan yang sehat, pendidikan yang baik dan masih banyak lagi nikmat yang Aku miliki dan tidak dimiliki oleh orang lain.

 NB : cerpen ini telah di ikutsertakan dalam lomba cerpen dan terpilih sebagai salah satu kontributor terpilih.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar