Miliknya Tak Sama dengan Milikmu
oleh : Tamao
![]() |
https://www.plukme.com/post/1536044189-aku-bersyukur |
“Ra
bangun, mau kuliah ngak pagi ini ?” Terdengar suara Ibuku dari balik pintu
kamar.
“Iya,
Ma. Lima menit lagi masih pagi ini, Ma.” Aku masih memejamkan mata dan memeluk
boneka beruang kesayanganku.
“Buruan
bangun sarapan sudah siap di meja.” Ibuku masih terus berteriak dengan nada
suara yang lebih tinggi.
Dengan
sekuat tenaga Aku melawan gaya gravitasi bumi yang sangat berat pada pagi hari
karena banyak pendapat mengatakan bahwa gravitasi bumi pada pagi hari sangatlah
berat sehingga kita sulit untuk bangun dan berdiri dari tempat tidur kita. Aku
duduk di ujung tempat tidurku sambil meminum air putih yang ada di sebelahku.
Jam masih menunjukkan pukul 06.30 WIB masih terlalu pagi untukku tetapi suara
berisik kendaraan sudah mulai terdengar. Aku mengambil handuk biruku dan menuju
kamar mandi, di kamar mandi terlihat sebuah ember hitam yang berisi air hangat.
Sudah menjadi kebiasaan Ibuku selalu menyiapkan air hangat untuk mandi pagiku
jika Ibuku tidak menyiapkan air hangat maka Aku lebih memilih berangkat ke
kampus tanpa mandi. Dalam benakku berpikir Aku tidak perlu mandi yang Aku
butuhkan hanya bagaimana caranya agar Aku tetap wangi dan cantik di depan
teman-temanku sehingga mereka tidak menyadari bahwa Aku tidak mandi pagi ini.
Kini
Aku sudah duduk di meja makan berkumpul bersama keluarga untuk menikmati
sarapan pagi ini. Nasi goreng dengan telur mata sapi dan sedikit sambal tempe
sisa semalam. Aku menyingkirkan sambal tempe tersebut ke tepi piring karena Aku
tidak mau memakan makanan sisa kemarin, karena menurutku makanan kemarin itu
sudah basi dan harus dibuang atau diberikan kepada kucing yang mau menerima
makanan apapun. Aku menyudahi sarapanku dengan menyisakan setengahnya karena
Aku sudah merasakan kekenyangan jika dipaksakan Aku akan muntah.
“Kenapa
makannya gak dihabisin, Ra?”
“Sudah
kenyang, Ma. Gak kuat lagi kasih kucing aja.” Sambil berdiri dari meja makan.
“Kamu
itu jangan suka buang-buang makanan mubazir.”
Aku hanya diam tidak ingin ada
perdebatan pagi ini hanya karena sepiring nasi dan merusak moodku hari ini. Aku
berdiri dan mencium tangan kedua orang tuaku.
“Assalamualaikum. Rara berangkat.”
Sambil mengambil kunci motor yang tergeletak di atas meja di ruang tamu.
Aku menghidupkan mesin motorku dan berjalan
menuju jalan raya. Jarak menuju universitas cukup jauh membutuhkan waktu
sekitar dua puluh menit untuk tiba di kampus itupun jika tidak macet jika
sedang terjadi macet parah bisa menghabiskan waktu hingga tiga puluh menit selain
itu Aku membutuhkan kendaraan pribadi untuk menuju ke kampus karena akses jalan
yang tidak terlalu bagus sehingga sangat jarang ada kendaraan umum yang bisa menuju
kampus. Perjalananku baru dimulai sekitar sepuluh menit yang lalu tetapi
perjalananku harus terhenti karena di depan terlihat keadaan macet yang sangat
parah. Setelah melalui jalanan yang macet tibalah Aku di daerah kampusku.
Kampusku terletak di daerah pinggir kota bisa dibilang daerah perbatasan
sehingga banyak mobil-mobil truk besar berlalu-lalang. Banyaknya mobil yang
berlalu-lalang membuat udara di daerah kampusku sangat tidak sehat. Polusi
bertebaran dan sesekali Aku terbatuk karena Aku harus menghirup asap kotor
kendaraan tersebut. Kadang Aku menyesal telah mengikuti keinginan orang tuaku
untuk berkuliah di kotaku saja tidak perlu kuliah di luar kota bahkan di luar
negeri karena menurut orang tuaku yang menentukan kesuksesan seseorang bukan
universitasnya dan di mana Aku berkuliah tetapi diriku sendiri yang menentukan
kesuksesan tersebut.
Jam
telah menunjukkan pukul 07.55 WIB kelas sudah ramai hanya tinggal menunggu
dosen mata kuliah pertama memasuki kelas, Aku masih sibuk memainkan ponselku
sambil membalas satu persatu pesan yang Aku terima. Tidak lama setelah itu
dosen mata kuliah pertamapun telah hadir di hadapanku. Kali ini Bu Olla
memberikan tugas akhir semester dengan cara melakukan pengabdian dan kami
dibebaskan untuk memilih tempat dan tema yang akan kami lakukan. Setelah
melalui perundingan panjang kami memutuskan untuk melakukan pengabdian di salah
satu daerah yang merupakan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ada di kota
Palembang dan yang menjadi target pengabdian kami adalah anak-anak kecil yang
ada di TPA tersebut. Untuk melakukan proyek ini Aku dan teman-temanku
mengumpulkan dana yang nantinya diberikan kepada anak-anak tersebut baik dalam
berupa uang maupun alat tulis. Berbagai cara kami lakukan agar uang itu dapat
terkumpul dimulai dengan berjualan keliling disekitar lingkungan kampus, mencari
sponsor, dan masih banyak lagi. Hal itu kami lakukan secara terus-menerus
selama satu minggu penuh. Usaha tidak akan pernah menghianati hasil terbukti
berkat usaha dan kerja keras kami berhasil mengumpulkan uang sekita tiga juta
rupiah. Uang itu kami belanjakan untuk membeli alat-alat sekolah dan makanan
ringan bagi anak-anak di TPA yang akan kami temui pada hari sabtu.
Dan
hari sabtu pun tiba, seluruh anggota
kelas HI’C telah berkumpul di depan lambang tulisan UNSRI untuk menunggu bus
yang akan mengantarkan kami semua menuju TPA, bus yang memang telah disewa
untuk mengantar kami pada kegiatan ini. Tidak berapa lama kemudian bus pun
datang untuk mengangkut kami semua menuju TPA. Menurut perkiraan teman-temanku
yang telah melakukan survei lapangan perjalanan akan memakan waktu sekitar dua
jam tapi dua jam bukanlah waktu yang lama. Di bus Aku bersama teman-temanku
bernyanyi bersama seolah kita hendak melakukan piknik bersama sambil diiringi
gitar. Menyanyi, bercanda, dan tertawa bersama, dan tidak lupa membahas masalah
politik karena politik sudah menjadi bagian dari kehidupan perkuliahanku setiap
harinya. Sepanjang perjalanan pun dihiasi oleh infrastruktur kota Palembang
yang rapi dan bersih, sungai musi terlihat begitu tenang dengan perahu-perahu
kecil di atasnya.
Dua
jam tidaklah terasa, perlahan kami mulai memasuki daerah tempat TPA tersebut
berada, bukan lagi pemandangan infrastruktur yang terlihat bukan lagi sungai
musi yang tenang yang Aku lihat tetapi sebuah lingkungan kumuh yang menurutku
sangat tidak sehat ditambah lagi langit yang mulai mendung seolah menambah kesan
yang buruk dari tempat itu. Perlahan kami mulai memasuki lokasi tujuan kami,
bus telah berhenti di depan sebuah lorong kecil karena lorong itu terlalu kecil
sehingga Aku dan teman-temanku harus berjalan untuk sampai ke tempat yang
dituju.
Mata
ini tidak dapat memalingkan dari pemandangan sekitar, ini adalah pertama
kalinya Aku melihat gunungan-gunungan sampah yang tinggi. Bahkan rumah
pendudukpun dikelilingin oleh tumpukkan sampah. Dalam hatiku terbesit dan
otakku berpikir bagaimana bisa penduduk di sini bertahan hidup bersama
tumpuk-tumpukkan sampah setiap harinya mencium baunya saja sudah membuat Aku
ingin muntah. Dari kejauhan Aku melihat seorang pria yang masih muda mungkin
hanya setahun atau dua tahun lebih tua dariku sedang menggiring sapi-sapinya. Pria
itu tidak mengenakan baju hanya sebuah celana putih yang sudah lusuh. Terlihat
jelas sekali tulang-tulang rusuk dari balik kulit hitamnya dan sapi-sapinya pun
tidak jauh beda kondisinya dengan sang pemilik. Ironis, sapi-sapi itu memakan
rumput yang telah terkontaminasi dengan limbah plastik dan bayangkan jika sapi
itu disembelih dan dimakan oleh manusia secara otomatis sampah itu ikut
termakan oleh manusia.
Tibalah
kami pada sebuah rumah kecil dengan halaman yang luas, di sana terdapat banyak
sekali anak kecil sedang bermain bersama teman-temannya sepertinya mereka sudah
tahu akan kedatangan kami dan menunggu kami tiba. Anak-anak itu terlihat sangat
kotor dan lusuh tetapi mereka tetap bermain tanpa memperdulikan kondisinya.
Beberapa dari anak-anak itu langsung menyambut rombonganku bahkan Marcel salah
satu temanku dijadikan seperti sebuah pohon dipanjat oleh anak-anak itu baik
dari belakang maupun depan. Semua anak-anak dikumpulkan di teras rumah kecil
tersebut. Di sini terlihat sosok keasihan dari teman-temanku yang selama ini
Aku anggap gila. Mereka mengajari anak-anak itu menulis, membaca, dan
menghitung. Kami bernyanyi dan bermain
bersama.
Satu
pemandangan lagi yang membuat Aku merasa berdosa karena, Aku melihat seorang
anak tidak sengaja menjatuhkan gorengannya ke tanah. Namun, tanpa rasa jijik
sang anak mengambil kembali gorengan tersebut dan memakannya. Ini sebuah
tamparan keras bagiku karena dari sini Aku seharusnya bersyukur berterima kasih
atas segala nikmat dan rezeki yang Aku miliki makanan yang sehat, lingkungan
yang sehat, pendidikan yang baik dan masih banyak lagi nikmat yang Aku miliki
dan tidak dimiliki oleh orang lain.
NB : cerpen ini telah di ikutsertakan dalam lomba cerpen dan terpilih sebagai salah satu kontributor terpilih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar